Mari Menghina Karena Penghinaan Itu Baik
Disadari atau tidak, "insult" (bahasa Indonesia: "menghina" atau "penghinaan") sudah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari sebagai bumbu penyedap komunikasi. Tidak penting diketahui kapan dan siapa yang memulainya. Namun menurut Sigmund Freud, manusia pertama yang melemparkan penghinaan adalah pendiri peradaban.
Kita biasanya menemukan penghinaan dilontarkan secara lisan oleh seseorang yang beradu argumen dengan orang atau kelompok lain dan biasanya dipicu oleh ketidakmampuannya dalam berargumen sehingga mulai menyerang sisi personal dan memancing emosi lawannya ketimbang isu yang sedang mereka argumentasikan. Penghinaan tidak melulu terjadi ketika dua orang atau lebih sedang berselisih paham. Dalam skala ringan, penghinaan juga sering terjadi diantara dua orang sahabat baik disadari maupun tidak.
Tingkat penghinaan pun beragam dan membuat saya tertarik untuk mengamatinya secara lebih lanjut. Sebagai seseorang yang pernah tinggal di sejumlah tempat, sudah bertemu dengan banyak orang dan sering memperhatikan bagaimana penghinaan dilakukan di masyarakat, sepertinya cukup bagi saya untuk mengambil kesimpulan: penghinaan adalah indikator penentu tingkat wawasan seseorang. Mengapa saya berani berkesimpulan seperti itu? Berikut adalah hasil pengamatan saya.
Dalam masyarakat yang wawasannya masih sangat terbatas. Bentuk penghinaan yang paling dominan dilontarkan secara lisan adalah penggunaan kata dan frasa sederhana (berunsur peyoratif) yang berhubungan dengan alat kelamin atau aktivitas seksual, mulai dari yang ada dalam kamus bahasa Indonesia maupun kamus bahasa asing yang populer digunakan (seperti "titit", "kontol", "vagina", "dick", "penis", "fuck", "motherfucker") atau kata-kata serupa dalam bahasa daerah (seperti "jancuk", "cukimai", "puki", "ngentot") atau dalam bahasa slang (seperti "ngewe", "meki", "kontil").
Selain kata dan frasa terkait alat kelamin atau aktivitas seksual, sebagai alternatif umumnya digunakan kata atau frasa yang berhubungan dengan penampilan fisik, profesi, tingkat kecerdasan atau suku ras seseorang (seperti "kidal", "pincang", "item", "birong", "idiot", "pelacur", "pecun", "matamu", "goblok", "bule", "albino", "cina", "batak" dan "jawa").
Kategori penghinaan berikutnya melibatkan sejumlah hewan yang tidak bersalah dan seringkali tidak ada hubungannya pihak-pihak yang sedang beradu argumentasi seperti "anjing", "babi" dan "monyet" (atau dalam bahasa daerah seperti "tambi", "gudel", "cempe", "gendon" dan dalam bahasa Inggris sering terdengar digunakan kata "pig" dan "chicken"). Saya sendiri kurang paham mengapa hewan-hewan tersebut "dikorbankan". Mungkinkah berhubungan dengan agama yang dianut oleh mereka yang sedang beradu argumentasi?
Menurut saya, tiga kategori di atas adalah bentuk penghinaan paling primitif dan ditemukan hampir di semua tempat yang pernah saya tinggali maupun kunjungi. Agaknya si penghina merasa itu adalah bentuk-bentuk penghinaan yang paling efektif dan bisa langsung ke sasaran sehingga tidak mengherankan jika kata dan frasa hinaan seperti itulah yang pertama kali diingat dalam sebuah bahasa yang baru dipelajari. Seperti ketika seorang @syzwz mengajari saya kata "kehed" ketika saya baru mengenal bahasa Sunda.
Namun tentu saja bentuk penghinaan tersebut akan sangat membosankan karena jumlah kata dan frasa yang digunakan sangatlah terbatas selain itu banyak kata maupun frasa penghinaan primitif tersebut sudah menjadi bumbu pelengkap sebuah konstruksi kalimat yang indah. Ingin bukti? Jika Anda kebetulan berkunjung ke Bandung atau tinggal di Bandung dan sedang berbincang dengan sahabat karib Anda, gunakan kata "anjing" dan "goblok" sebagai pengganti tanda baca. Sebagai contoh "Eh goblok kemana aja 'njing" (di sini kata "goblok" digunakan sebagai koma dan kata "'njing" atau "anjing" digunakan sebagai tanda tanya). Saya yakin, sahabat Anda tersebut tidak akan marah.
Ada yang berpendapat bahwa panjangnya sebuah ungkapan penghinaan mencirikan tingkat wawasan seseorang. Mungkin ada benarnya. Ambil contoh: "iya, muka lo cakep, tapi dilihat dari atas Monas" akan lebih mengena dan biasanya cuma dibalas dengan "anjing, lo". Namun tentu tidak dengan "You stupid dumbshit goddam motherfucker!" karena akan terdengar biasa saja.
Ketika hinaan primitif tidak lagi mempan, apakah adu hina berhenti? Sayangnya tidak. Mereka yang lebih pandai akan menggunakan variasi lain dari istilah-istilah dari hinaan berkategori primitif dengan bentuk yang lebih halus (eufemisme). Sayangnya saya belum menemukan contoh yang umum digunakan oleh orang Indonesia selain dalam bentuk sajak, puisi dan lirik lagu yang kadar hinaannya rendah sekali. Anda tentu masih ingat lagu-lagu karangan Iwan Fals atau puisi-puisi karangan WS Rendra.
Apakah ini pertanda bahwa sebagian besar orang Indonesia tidak begitu paham dengan bahasanya sendiri? Entahlah. Namun yang jelas saya malah mulai sering mendengar ungkapan hinaan dalam bahasa asing digunakan dan diselipkan dalam percakapan. Agar terdengar lebih halus? Bisa jadi. Agar terdengar lebih berintelektual? Mungkin. Yang jelas, 2% dari bangsa kita ini memang jenius. Namun yang jadi masalah, 98% sisanya merasa mereka adalah bagian dari 2% tersebut.
Ya, saya baru saja menghina Anda.
*tulisan ini saya copy dari catatan facebook Jim Geovedi
Sekian
Wassalam
0 Response to "Mari Menghina Karena Penghinaan Itu Baik"
Post a Comment